Rabu, 22 Juni 2016

Tugas 4.4 Internasional Elektronik Fund Transfer



Electronic Funds Transfer Systems (EFTS) sudah menjadi metode utama yang melibatkan pembayaran dana dalam jumlah besar yang dilakukan lembaga keuangan dan nasabah bisnisnya. EFT didefinisikan sebagai pemindahan dana yang diawali dari terminal elektronik, instrument telpon, computer, atau magnetic tape untuk memesan, memerintahkan, atau memberikan kewenangan kepada lembaga keuangan untuk mendebet atau mengkredit rekening.  Kemampuan lembaga keuangan untuk menyediakan jasa-jasa tersebut seiring dengan perkembangan teknologi computer dan teknologi komunikasi data.


Tugas 4.3 Prinsip Penerapan E-Banking dan M-Banking



Electronic Banking (e-banking) merupakan suatu aktifitas layanan perbankan yang menggabungkan antara sistem informasi dan teknologi, e-banking meliputi phone banking, mobile banking, dan internet banking. E-banking didefinisikan sebagai penghantaran otomatis jasa dan produk bank secara langsung kepada nasabah melalui elektronik, saluran komunikasi interaktif.

E-Banking meliputi sistem yang memungkinkan nasabah bank, baik individu ataupun bisnis, untuk mengakses rekening, melakukan transaksi bisnis, atau mendapatkan informasi produk dan jasa bank melalui jaringan pribadi atau publik, termasuk internet. Nasabah dapat mengakses e-banking melalui piranti pintar elektronis seperti komputer/PC, PDA, ATM, atau telepon.

Contoh-contoh E-Banking yang diterapkan di dalam sebuah bank adalah :

  • ATM, Automated Teller Machine atau Anjungan Tunai Mandiri

Ini adalah saluran e-Banking paling populer yang kita kenal. Setiap kita pasti mempunyai kartu ATM dan menggunakan fasilitas ATM. Fitur tradisional ATM adalah untuk mengetahui informasi saldo dan melakukan penarikan tunai. Dalam perkembangannya, fitur semakin bertambah yang memungkinkan untuk melakukan pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket), dan yang terkini transfer ke bank lain (dalam satu switching jaringan ATM). Selain bertransaksi melalui mesin ATM, kartu ATM dapat pula digunakan untuk berbelanja di tempat perbelanjaan, berfungsi sebagai kartu debit. Bila kita mengenal ATM sebagai mesin untuk mengambil uang, belakangan muncul pula ATM yang dapat menerima setoran uang, yang dikenal pula sebagai Cash Deposit Machine/CDM. Layaklah bila ATM disebut sebagai mesin sejuta umat dan segala bisa, karena ragam fitur dan kemudahan penggunaannya.

  • Phone Banking

Ini adalah saluran yang memungkinkan nasabah untuk melakukan transaksi dengan bank via telepon. Pada awalnya lazim diakses melalui telepon rumah, namun seiring dengan makin populernya telepon genggam/HP, maka tersedia pula nomor akses khusus via HP bertarif panggilan flat dari manapun nasabah berada. Pada awalnya, layanan Phone Banking hanya bersifat informasi yaitu untuk informasi jasa/produk bank dan informasi saldo rekening serta dilayani oleh Customer Service Operator/CSO. Namun profilnya kemudian berkembang untuk transaksi pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (a.l. kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (a.l. voucher dan tiket), dan transfer ke bank lain; serta dilayani oleh Interactive Voice Response (IVR). Fasilitas ini boleh dibilang lebih praktis ketimbang ATM untuk transaksi non tunai, karena cukup menggunakan telepon/HP di manapun kita berada, kita bisa melakukan berbagai transaksi, termasuk transfer ke bank lain.

  • Internet Banking

Ini termasuk saluran teranyar e-Banking yang memungkinkan nasabah melakukan transaksi via internet dengan menggunakan komputer/PC atau PDA. Fitur transaksi yang dapat dilakukan sama dengan Phone Banking yaitu informasi jasa/produk bank, informasi saldo rekening, transaksi pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (kartu kredit, listrik, dan telepon), pembelian (voucher dan tiket), dan transfer ke bank lain. Kelebihan dari saluran ini adalah kenyamanan bertransaksi dengan tampilan menu dan informasi secara lengkap tertampang di layar komputer/PC atau PDA.

  • SMS/m-Banking

Saluran ini pada dasarnya evolusi lebih lanjut dari Phone Banking, yang memungkinkan nasabah untuk bertransaksi via HP dengan perintah SMS. Fitur transaksi yang dapat dilakukan yaitu informasi saldo rekening, pemindahbukuan antar rekening, pembayaran (a.l. kartu kredit, listrik, dan telepon), dan pembelian voucher. Untuk transaksi lainnya pada dasarnya dapat pula dilakukan, namun tergantung pada akses yang dapat diberikan bank. Saluran ini sebenarnya termasuk praktis namun dalam prakteknya agak merepotkan karena nasabah harus menghapal kode-kode transaksi dalam pengetikan sms.

Di balik kemudahan e-Banking tersimpan pula risiko, untuk itu diperlukan pengaman yang baik. Lazimnya untuk ATM, nasabah diberikan kartu ATM dan kode rahasia pribadi (PIN); sedangkan untuk Phone Banking, Internet Banking, dan SMS/m-Banking, nasabah diberikan kode pengenal (userid) dan PIN. Sebagai pengaman tambahan untuk internet banking, pada bank tertentu diberikan piranti tambahan untuk mengeluarkan PIN acak/random. Sedangkan untuk SMS Banking, nasabah diminta untuk meregistrasikan nomor HP yang digunakan.


Dengan beragamnya kemudahan transaksi via e-Banking, kini pilihan ada di tangan kita untuk memanfaatkannya atau tidak. Namun mengingat tidak semua bank menyediakan layanan-layanan tersebut, maka seberapa pintarkah bank kita? Untuk dapat bertransaksi pintar, kini saatnya memilih bank pintar kita, tentunya sesuai kebutuhan transaksi.

Tugas 4.2 Jenis-Jenis E-Banking



1. Automated Teller Machine (ATM)

Terminal elektronik yang disediakan lembaga keuangan atau perusahaan lainnya yang membolehkan nasabah untuk melakukan penarikan tunai dari rekening simpanannya di bank, melakukan setoran, cek saldo, atau pemindahan dana.

2. Computer Banking
Layanan bank yang bisa diakses oleh nasabah melalui koneksi internet ke pusat data bank, untuk melakukan beberapa layanan perbankan, menerima dan membayar tagihan, dan lain-lain.

3. Debit (or check) Card
Kartu yang digunakan pada ATM atau terminal point-of-sale (POS) yang memungkinkan pelanggan memperoleh dana yang langsung didebet (diambil) dari rekening banknya.

4. Direct Deposit

Salah satu bentuk pembayaran yang dilakukan oleh organisasi (misalnya pemberi kerja atau instansi pemerintah) yang membayar sejumlah dana (misalnya gaji atau pensiun) melalui transfer elektronik. Dana ditransfer langsung ke setiap rekening nasabah.

5. Direct Payment (also electronic bill payment)
Salah satu bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk membayar tagihan melalui transfer dana elektronik. Dana tersebut secara elektronik ditransfer dari rekening nasabah ke rekening kreditor. Direct payment berbeda dari preauthorized debit dalam hal ini, nasabah harus menginisiasi setiap transaksi direct payment.

6. Direct Payment (also electronic bill payment)
Bentuk pembayaran tagihan yang disampaikan atau diinformasikan ke nasabah atau pelanggan secara online, misalnya melalui email atau catatan dalam rekening bank. Setelah penyampaian tagihan tersebut, pelanggan boleh membayar tagihan tersebut secara online juga. Pembayaran tersebut secara elektronik akan mengurangi saldo simpanan pelanggan tersebut.

7. Electronic Check Conversion
Proses konversi informasi yang tertuang dalam cek (nomor rekening, jumlah transaksi, dll) ke dalam format elektronik agar bisa dilakukan pemindahan dana elektronik atau proses lebih lanjut.

8. Electronic Fund Transfer (EFT)
Perpindahan “uang” atau “pinjaman” dari satu rekening ke rekening lainnya melalui media elektronik.

9. Payroll Card
Salah satu tipe “stored-value card” yang diterbitkan oelh pemberi kerja sebagai pengganti cek yang memungkinkan pegawainya mengakses pembayaraannya pada terminal ATM atau Point of Sales. Pemberi kerja menambahkan nilai pembayaran pegawai ke kartu tersebut secara elektronik.

10. Preauthorized Debit (or automatic bill payment)
Bentuk pembayaran yang mengizinkan nasabah untuk mengotorisasi pembayaran rutin otomatis yang diambil dari rekening banknya pada tanggal-tangal tertentu dan biasanya dengan jumlah pembayaran tertentu (misalnya pembayaran listrik, tagihan telpon, dll). Dana secara elektronik ditransfer dari rekening pelanggan ke rekening kreditor (misalnya PLN atau PT Telkom).

11. Prepaid Card
Salah satu tipe Stored-Value Card yang menyimpan nilai moneter di dalamnya dan sebelumnya pelanggan sudah membayar nilai tadi ke penerbit kartu.

12. Smart Card
Salah satu tipe stored-value card yang di dalamnya tertanam satu atau lebih chips atau microprocessors sehingga bisa menyimpan data, melakukan perhitungan, atau melakukan proses untuk tujuan khusus (misalnya validasi PIN, otorisasi pembelian, verifikasi saldo rekening, dan menyimpan data pribadi). Kartu ini bisa digunakan pada sistem terbuka (misalnya untuk pembayaran transportasi publik) atau sistem tertutup (misalnya MasterCard atau Visa networks).

13. Stored-Value Card
Kartu yang di dalamnya tersimpan sejumlah nilai moneter, yang diisi melalui pembayaran sebelumnya oleh pelanggan atau melalui simpanan yang diberikan oleh pemberi kerja atau perusahaan lain.

Tugas 4.1 Perkembangan Teknologi Perbankan Elektronik


Dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, telah menciptakan jenis-jenis dan peluang-peluang bisnis yang baru di mana transaksi-transaksi bisnis makin banyak dilakukan secara elektronika. Sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi tersebut memungkinkan setiap orang dengan mudah melakukan perbuatan hukum seperti misalnya melakukan jual-beli. Perkembangan internet memang cepat dan memberi pengaruh signifikan dalam segala aspek kehidupan kita.

Penggunaan internet tidak hanya terbatas pada pemanfaatan informasi yang dapat diakses melalui media ini, melainkan juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan transaksi perbankan. Bank di Indonesia mulai memasuki dunia maya yaitu internet banking atau yang lebih dikenal dengan E-Banking, yang merupakan bentuk layanan perbankan secara elektronik melalui media internet. E-Banking pada dasarnya merupakan suatu kontak transaksi perbankan antara pihak bank dan nasabah dengan menggunakan media internet.

Selasa, 10 Mei 2016

3.7 REAL TIME GROSS SETTLEMENT (BI-RTGS)



A.    Pengertian BI-RTGS

“Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement, yang selanjutnya disebut Sistem BI-RTGS, adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar peserta dalam mata uang rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual”. Sistem BI-RTGS adalah proses penyelesaian akhir transaksi (settlement) pembayaran yang dilakukan per transaksi (individually processed / gross settlement) dan bersifat real time (electronically processed), dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai dengan perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.
Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa BI memakai settlement melalui RTGS. Alasan pertama, jika membuka kembali literatur dan merujuk hasil studi empiris, ada semacam kesadaran baru dari bank-bank sentral di seantero jagad ini untuk mengelola Large Value Transfer System (LVTS). Sistem BI-RTGS dapat mengurangi risiko sistemik. Yang dimaksud dengan risiko sistemik adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo. Kegagalan bayar ini akan membuat peserta bank lain juga ikut terancam. Bahkan dalam situasi ekstrem, gagal bayar ini berpotensi memicu kesulitan finansial yang lebih luas yang dapat mengancam stabilitas sistem pembayaran.


B.    Penyelenggara BI-RTGS

Penyelenggara sistem BI-RTGS dalam hal ini adalah Bank Indonesia selaku bank sentral.

C.    Tujuan BI-RTGS
1.    Menyediakan sarana transfer dana antar peserta yang lebih cepat, efisien, andal dan aman.
2.    Kepastian settlement dapat diperoleh dengan lebih segera (irrevocable dan unconditional).
3.    Menyediakan informasi rekening peserta secara real time dan menyeluruh.
4.    Meningkatkan disiplin dan profesionalisme peserta dalam mengelola likuiditasnya.
5.    Mengurangi risiko-risiko settlement.


D.    Manfaat BI-RTGS

1.    Pengiriman transfer dana lebih aman, dengan jaminan keamanan sistem penyelenggaraan.
2.    Pengiriman transfer dana lebih cepat dengan jaminan dapat diterima oleh nasabah penerima pada hari yang sama.


E.    Mekanisme Settlement

Mekanisme penyelesaian transaksi antar bank saat ini terdapat dua mekanisme yaitu melalui sistem kliring dan BI_RTGS. Sistem kliring menggunakan metode net settlement yaitu proses penyelsaian akhir transaksi-transaksi pembayaran yang dilakukan pada akhir priode dengan melakukan offsetting antara kewajiban-kewajiban pembayaran dengan hak-hak penerimaan sehingga hanya ada 1 net hak atau kewajiban yang akan disettle untuk masing-masing rekening bank.. BI-RTGS menggunakan sistem gross settlement yaitu setiap transaksi diperhitungkan secara individual.


Dalam transaksi tersebut antara sistem kliring dan sistem BI-RTGS juga memiliki perbedaan dalam nominal. Jumlah nominal yang kurang dari Rp.100.000.000maka transaksi tersebut melelui sistem kliring, untuk transaksi yang lebih dariRp.100.000.000 maka melalui sistem BI-RTGS.
Secara umum mekanisme transaksi transfer dana antara peserta BI-RTGS adalah :
1.    Peserta pengirim menginput credit transfer ke dalam terminal RTGS (RT) untuk selanjutnya ditransmisikan ke RCC di Bank Indonesia.
2.    Selanjutnya, RCC memproses credit transfer dengan mekanisme sebagai berikut :
a.    Mengecek kecukupan saldo apakah saldo rekening giro peserta pengirim lebih besar dari atau sama dengan nilai nominal credit transfer.
b.    Jika saldo rekening giro peserta pengirim mencukupi akan dilakukan posting secara simultan pada rekening giro peserta pengirim dan rekening giro peserta penerima.
c.    Jika saldo rekening giro peserta pengirim tidak mencukupi, credit transfer tersebut akan ditempatkan dalam antrian (queue) sistem BI-RTGS.
3.    Informasi credit transfer yang telah diselesaikan (settled) akan ditransmisikan secara otomatis oleh RCC ke RT peserta pengirim dan RT peserta penerima.


Peserta BI-RTGS

Peserta sistem BI-RTGS adalah seluruh bank yang dikelompokan dalam peserta langsung dan peserta tidak langsung. Peserta lansung adalah peserta yang dapat secara lansung melakukan transaksi dengan menggunakan sistem milik bank peserta sendiri. Peserta tidak langsung tidak dapat melakukan transaksi melalui sistem RTGS milik peserta melainkan melalui RTGS milik Bank Indonesia.


Status peserta BI-RTGS :
a.    Peserta aktif
Yaitu pesrta yang dapat mengirim keluar, menerima masuk dan melakukan seluruh fungsi lainnya dalam RTGS Terminal.
b.    Peserta ditangguhkan
Yaitu peserta yang dapat menerima transfer masuk, melakukan seluruh fungsi laian dalam RTGS Terminal namun tidak dapat mengirim transfer keluar. Hal biasanya disebabkan karena saldo rekening tidak mencukupi sampai dengan cut off time, adanya permintaan tertulis dari pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan peserta.
c.    Peserta dibekukan
Yaitu peserta yang tidak dapat mengirim transfer keluar dan tidak dapat menerima namun dapat melakukan fasilitas enquiry. Salah satu penyebabnya adalah adanya permintaan dari pihak yang berwenang dalam pengawasan peserta.
d.    Peserta ditutup
Peserta yang tidak dapat melakukan transaksi, seluruh transaksi ditolak oleh RCC. Karena permintaan dari pihak berwenang dan keputusan merger, akuisisi, konsolidasi atau pencabutan izin usaha Bank.


G.    Resiko-Resiko Sistem Pembayaran

Dari sisi pengelolaan risiko dalam penyelenggaraan kliring yang bersifat multilateral netting, saat ini belum ada suatu mekanisme untuk mengantisipasi kemungkinan kegagalan peserta dalam memenuhi kewajibannya pada penyelesaian akhir atas hasil kliring.


Secara umum terdapat dua jenis risiko dalam sistem pembayaran yakni risiko kredit dan risiko likuiditas. Risiko kredit adalah risiko dimana counterparty tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar secara penuh baik pada saat jatuh tempo maupun pada saat sesudahnya. Termasuk dalam kategori risiko ini adalah unrealized gains atas kontrak-kontrak yang gagal dilaksanakan (replacement cost risk) dan yang lebih parah lagi adalah risiko tidak terbayarnya suatu transaksi secara keseluruhan (principal risk). Sedangkan risiko likuiditas adalah risiko dimana counterparty tidak mampu membayar secara keseluruhan pada saat jatuh tempo melainkan membayar sesudah jatuh tempo. Hal ini tentu akan dapat menimbulkan kesulitas likuiditas bagi peserta penerima yang pada gilirannya nanti mungkin akan meningkatkan cost of fund dari peserta karena harus mencari dari money market dengan cepat.


Selaku Bank penyelenggara, Indonesia harus mengawasi jalannya sistem BI-RTGS untuk mengantisipasi adanya resiko sebagaimana tersebut di atas. Bank Indonesia juga harus konsen terhadap Systemic risk yang mungkin terjadi dalam lalu lintas pembayaran. Systemic risk adalah risiko kegagalan salah satu peserta dalam memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo sehingga menyebabkan peserta lain juga mengalami kesulitan likuiditas yang pada gilirannya menjadi tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya.karena dikhawatirkan hal tersebuit dapat memicu kesulitas finansial yang dapat menggangu dalam lalu lintas pembayaran.
Sebagai akhir yang diharapkan dari adanya sistem BI-RTGS ini yaitu
1.    dengan adanya BI-RTGS diharapakan resiko-resiko dapat diminimalisir, dengan adanya kemampuan  melakukan transfer secara real time diharapakan mampu mengurangi resiko dalam proses settlement karena trnsaksi dilaksanakan apibila jumlah saldo mencukupi.
2.    Dengan adanya BI-RTGS diharapakan mampu mencukupi kebutuhan pihak yang dengan tersedianya mekanisme pembyaran yang relatif sangat cepat. Biasanya hal ini sangat dibutuhkan untuk transaksi jual beli saham/skuritas.
3.    Dengan implementasi BI-RTGS diharapkan mampu mengurangi systemic risk. Resiko ini dapat dikurangi dengan toiga cara: Pertama, penurunan secara signifikan intraday interbank exposure akan dapat mengurangi kemungkinan ketidakmampuan suatu peserta dalam menutup kerugian atau menutup kekurangan likuiditas karena peserta lain tidak mampu memenuhi kewajibannya. Kedua, sistem BIRTGS akan dapat mencegah kemungkinan terjadinya unwinding payment yang dapat merupakan penyebab terjadinya systemic risk dalam net settlement. Ketiga, karena peserta dapat melakukan settlement setiap saat selama window time, maka waktu settlement tidak lagi hanya terfokus pada suatu waktu tertentu saja. Hal ini akan memberikan waktu yang cukup bagi peserta untuk menyelesaikan kesulitan likuiditasnya dengan cara meminjam dari peserta lain atau menunggu incoming transfer dari peserta lain.


3.6 SISTEM KLIRING ELEKTRONIK DI INDONESIA



Pengertian umum kliring adalah pertukaran warkat atau data keuangan elektronik antar bank baik atas nama Bank maupun nasabah yang hasil perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.  Penyelenggaraan kliring di Jakarta pada awalnya dilaksanakan secara manual. Namun dalam perkembangannya, sejalan dengan meningkatnya transaksi perekonomian nasional khususnya di Jakarta dimana pada akhir tahun 1989 volume warkat telah mencapai 82.052 lembar warkat perhari dengan jumlah bank peserta mencapai 613 bank. Hal ini menyebabkan penyelenggaraan kliring secara manual dirasakan tidak efektif dan efisien lagi dan suasana pertemuan kliring yang hiruk pikuk sering kali diibaratkan dengan suasana “pasar burung”.

Melihat kondisi tersebut, Direksi Bank Indonesia dengan SKBI No. 21/9/KEP/DIR tanggal 23 Mei 1988, kemudian menetapkan untuk mengubah sistem penyelenggaraan kliring lokal Jakarta dari sistem manual menjadi sistem otomasi kliring. Meskipun demikian baru pada tanggal 4 Juni 1990 sistem otomasi  dapat diimplementasikan untuk memproses kliring penyerahan. Sementara untuk proses kliring pengembalian tetap dilakukan secara manual, sampai kemudian pada tahun 1994 diganti dengan sistem semi otomasi yang kemudian dikenal dengan sebutan SOKL .

Pada tahun 1996 rata-rata volume warkat kliring Jakarta mencapai 216.911 lembar per hari, dengan pertumbuhahan rata-rata dalam tiga tahun sekitar 6%. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan dalam kegiatan proses warkat kliring baik di bank peserta maupun di Bank Indonesia karena keterbatasan kemampuan sarana kliring yang ada dibandingkan dengan peningkatan jumlah warkat kliring. Pada gilirannya hambatan-hambatan tersebut menyebabkan terjadinya keterlambatan dalam settlement dan penyediaan informasi hasil kliring. Hal ini berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap bank dan merugikan lembaga lain yang terkait serta menimbulkan efek negatif berantai (systemic risk).

Sehubungan dengan itu, sesuai acuan pokok pengembangan sistem pembayaran nasional (Blue Print Sistem Pembayaran Nasional Bank Indonesia;1995) yang antara lain memuat visi, kerangka kebijakan dan langkah-langkah yang perlu dikembangkan dalam menciptakan sistem pembayaran nasional yang lebih efektif, efisien, handal dan aman, maka pada tahun 1996 konsep penyelenggaraan kliring lokal secara elektronik dengan teknologi image mulai dikembangkan oleh Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Pada tanggal 18 September 1998, Bank Indonesia mencatat sejarah baru dalam bidang sistem pembayaran dimana untuk pertama kalinya di Indonesia diresmikan penggunaan Sistem Kliring Elektronik (SKE) oleh Gubernur Bank Indonesia, DR. Syahril Sabirin. Penerapan SKE tersebut dilakukan pada Penyelenggaraan Klring Lokal Jakarta dimana pada awal implementasi, jumlah peserta yang ikut serta masih terbatas 7 bank peserta kliring (BRI, BDN, BII, BCA, Deutsche Bank, Standard Chartered, Citibank) dan 2 peserta intern dari Bank Indonesia (Bagian Akunting Thamrin dan Bagian Akunting Kota). Keikutsertaan kantor-kantor bank dalam Kliring Elektronik dilakukan secara bertahap sesuai dengan kesiapan teknis masing-masing peserta. Bagi kantorkantor bank yang belum menjadi anggota Kliring Elektronik, perhitungan kliring tetap menggunakan sistem kliring otomasi. Implementasi Kliring Elektronik secara menyeluruh kepada seluruh peserta kliring di Jakarta baru dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 2001

3.5 Informasi pada chek dan struktur kode mirc



Di dalam chek code ini terdapat berbagai informasi yyang berkaitan dengan transaksi nasabah. Mulai dari Paye, Draw e, Draw bank, Drawer Account, Chek number, Amoun, Currency , Payee Bank Number, Payee account, Dat, Autorized signature of makers.